Selamat Datang

Selamat Datang

Buku Tamu

[Pasang Widget] | [tutup]

Followers

  • Tahukah Anda ???

    Pada tahun 1930 an Indonesia menjadi eksportir gula terbesar nomor 2 di dunia setelah kuba...

  • Masa Depan Industri Gula

    Open Ono Aku...Naliko Ora Biso Nyugihi Nanging Biso Nguripi itulah falsafah jawa yang mungkin tidak asing lagi di telinga industri pergulaan khususnya di pabrik gula yang bermakna Peliharalah aku...,

  • Jabatan Berbahasa Belanda

    Jabatan Berbahasa Belanda yang masih digunakan di Pabrik Gula...

Jumat, 29 Juli 2016

SEJARAH PABRIK GULA JATIBARANG 1842


Brebes - Jawa Tengah 


Pabrik Gula Jatibarang didirikan pada tahun 1845 oleh NV. MIJ TOT EXPLOITILE DER SURKER ONDERNEMING. Berdasarkan PP No.24 tanggal 16 April 1959 tentang penetapan perusahaan – perusahaan pertanian atau perkebunan, milik belanda dibawah penguasaan RI SK Mentan No.229/UM/57 tanggal 10 Desember 1957 dibentuk Pusat Perkebunan Negara Baru (PPN Baru).
Berdasarkan UU No. 19 PRP tahun 1960 tentang perusahaan negara terdapat pembaharuan struktur dan jabatan-jabatan inti PPN cabang Jawa Tengah agar tetap dipimpin oleh kepala perwakilan jawatan perkebunan yang membawahi PPN dari unit Semarang Barat dipimpin oleh kuasa direksi mengelola diantaranya Pabrik Gula Jatibarang..

Gambaran Umum



Tahun Pembuatan : 1842
Kepemilikan         : BUMN
Jenis Proccess       : Sulfitasi
Jenis Gula             : SHS GKP 2

Letak

Terletak di Jalan Raya Timur Jatibarang, Desa Jatibarang Kidul Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah, Pabrik ini mempunyai akses yang sangat strategis karena terletak persisi di samping jalan kecamatan, jadi jika anda berminat datang mengunjungi atau berwisata ketempat ini anda bisa langsung menuju alamat tersebut.
Jika anda dari arah Brebes kota anda cukup mengikuti jalan besar kearah selatan kira-kira 15 Km sampai ketemu dengan perempatan Jatibarang lalu anda belok kiri kearah Timur sekitar 1 Km menuju pabrik tersebut yang terletak di sebelah kanan jalan, akan lebih mudah lagi bagi anda yang dari arah Slawi anda hanya cukup lurus terus menuju Jatibarang sampai anda berjumpa dengan perlintasan Rel yang terletak bersampingan dengan sebuah lapangan besar yang biasa disebut Lapangan PG lalu terus saja lurus kira-kira 200 meter dari perlintasan Rel disitulah Pabrik gula Jatibarang.

Wisata


Besaran adalah sebutan dari masyarakat sekitar untuk bangunan khas Belanda yang dahulu digunakan sebagai kantor administrasi Kepala Pabrik, namun sekitar tahun 2009 kepala pabrik mengambil kebijakan untuk tidak menggunakannya lagi sebagai kantornya karena dirasa terlalu besar sehingga memakan biaya perawatan yang besar pula, namun demikian bukan berarti Besaran didiamkan begitu saja tanpa dimanfaatkan sama sekali,
Saat ini Besaran digunakan sebagai wahana wisata kereta tebu dan museum, dan juga untuk even hari-hari besar seperti 17 Agustus, Besaran digunakan untuk Upacara gabungan yang pesertanya diambil dari para pelajar se-Kecamatan Jatibarang, selain tempat Upacara Besaran juga kerap digunakan sebagai tempat start Karnaval 17 Agustusan yang digelar tiap tahun sekali.


Selasa, 26 Juli 2016

YANG TERLUPAKAN...

Produktivitas lahan dan total produksi gula nasional, industri gula indonesia pernah mencapai masa kejayaan pada pertengahan tahun 30-an. Ketika itu hanya dengan luas lahan (sawah) sekitar 200.000 Ha mampu menghasilkan gula 3 Juta Ton, sehingga rata-rata produksinya mencapai 15 ton gula/ha. Tingkat produktivitas yang tinggi tersebut tidak dapat terus dipertahankan, bahkan dari tahun ke tahun bahkan produktivitas lahan tebu semakin menurun hingga sekarang.

Rendahnya produktivitas tersebut selain dikarenakan tidak dapat diterapkan baku teknis budidaya tebu, juga disebabkan oleh terjadinya pergeseran areal pertanaman tebu dari lahan sawah beririgasi teknis ke lahan tegalan, lahan kritis ataupun lahan marginal.  Hal tersebut sebagai dampak menyempitnya lahan sawah potensial akibat adanya perubahan peruntukan lahan pertanian menjadi areal pemukiman, pembuatan sarana jalan dan bangunan serta infrastruktur lainnya. Dilain pihak, biaya produksi dan biaya pengelolaan lahan tebu sejalan dengan semakin mahalnya upah tenaga kerja, semakin mahalnya sewa  dan sebagainya. Apabila masalah tersebut tidak segera diatasi maka dalam waktu yang tidak terlalu lama industri gula nasional, terutama dijawa, akan gulung tikar.

Persoalan klasik lainnya bertumpu pada tidak diterapkannya standar teknis budidaya tebu. Banyak persoalan mendasar dalam budidaya terlupakan begitu saja. Disadari ataupun tidak disadari, apabila diantara kita sebagai pelaku industri gula ditanya “Apa yang dimaksud dengan teknik budidaya tebu???” Maka jawabannya Reynoso, Apa pengertian teknik budidaya back to basic???” maka jawabannya kembali ke sistem Reynoso. Sejarah telah mencatat prestasi sistem Reynoso sebagai satu-satunya sistem budidaya tebu yang mampu meningkatkan produktivitas tebu secara Nasional. Tapi saat ini sistem Reynoso seperti kehilangan rohnya.

Sebagai langkah strategis untuk menyelamatkan industri gula Indonesia dengan sasaran swasembada gula adalah melalui program Revitalisasi Industri Gula. Salah satu faktor yang sangat menentukan produktivitas yakni dengan cara pendekatan kultur teknis yang tepat. Pada era saat ini kaidah teknik budidaya tebu dianggap masih kurang “pas” atau cenderung “asal-asalan”, kondisi demikian berdampak pada produktivitas tebu. Secara urutan pekerjaan budidaya tebu dari dulu hingga sekarang memang tidak ada perubahan berarti, namun pelaku industri gula tidak banyak yang tahu. Dan apabila urutan pekerjaan tersebut tidak dilaksanakan secara disiplin maka resiko harus siap dihadapi oleh industri gula itu sendiri. Sifat tanaman bisa di ibaratkan manusia apabila kita tidak dapat memenuhi kebutuhannya/hak-haknya maka akan “protes” sama halnya dengan tanaman, tanaman tersebut juga akan “protes”. Adapun wujud protes tanaman tersebut antara lain berupa pertumbuhan tidak optimal dan produksi yang rendah.

Tebu memiliki sifat bawaan “Suka air tetapi peka terhadap kondisi lingkungan tumbuh berdrainase jelek. Maka untuk mendukung pertumbuhannya secara optimal tebu memerlukan air dalam jumlah banyak, namun apabila kondisi lingkungannya berdrainase jelek maka pertumbuhannya akan terhambat sehingga produktivitas tidak maksimal. Beberapa kunci untuk pembudidayaan tebu berdasarkan urutan prioritas penanganannya sebagai berikut :


Prioritas (1)
1.      Air dapat dikendalikan secara efektif
2.      Lingkungan berdrainase baik
3.      Masa tanam Optimal
Tanpa dipenuhinya prasarana tersebut maka apapun input dan apapun yang diberikan kepada tebu berdampak terhadap produktivitas.

Prioritas (2) :
1.      Varietas yang cocok dengan lingkungan sekitar
2.      Hara Makanan yang cukup
3.      Organisme pengganggu tanaman dapat dikendalikan secara efektif
Varietas tidak hanya menyangkut masalah komposisi (masak awal, tengah, akhir) tetapi kemurnian dalam suatu hamparan lahan. Agar tebu mendapatkan makanan dalam jumlah cukup dan berimbang maka jenis dan dosis sesuai dengan hasil analisa tanah (sebelum umur 3 bulan). Pengendalian Organisme pengganggu tanaman harus dapat ditekan semaksimal mungkin.

Prioritas (3) :
Manajemen tebang dan angkut, prioritas ini merupakan faktor penting karena berdampak ganda terhadap kualitas bahan baku dan kualitas tanaman pada tahun berikutnya. Lama waktu tebangan dengan giling (Kurang dari 24 Jam).

Prioritas (4)
Meskipun masalah pabrik ini diluar kendali bagian tanaman, namun dalam kenyataannya kelancaran pabrik yang baik, secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi produktivitas dan kualitas bahan baku tebu. Apabila pabrik mempunyai performance baik, giling lancar dan kehilangan gula dalam proses  dapat ditekan maka berdampak terhadap meningkatnya perolehan gula. Apabila kelancaraan giling didalam pabrik tidak baik, maka lupakan produktivitas...

Seperti halnya dengan komoditas agribisnis lain, budidaya tebu memerlukan jadwal tanam dan pemeliharaan ketat didukung ketersediaan lahan dan modal kerja. Pelaku bisnis pergulaan terutama petani harus diyakinkan bahwa melalui demonstrasi lapangan dan proyek percontohan, produktivitas dan pendapatan yang lebih baik dapat dicapai. Demikian juga dengan manajemen di pabrik gula, dari mulai manajemen tanam, tebang  sampai proses pengolahan tebu hingga hasil akhir yakni produksi gula perlu dilakukan pengawasan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya penyimpangan/deviasi dalam penerapan standar teknis dilapangan.


Yakinlah bahwa dengan mengerjalan sesuatu dengan sepenuh hati, maka persaingan hakikinya tidak ada. Apalah arti produktivitas di Thailand, Australia dan yang lainnya sepanjang kita mampu menggali mutiara di negeri sendiri (9).

Senin, 25 Juli 2016

TAHUKAH ANDA???

Pada tahun 1930 an Indonesia menjadi eksportir gula terbesar nomor 2 di dunia setelah kuba. Saat itu, satu hektar kebun tebu di jawa dapat menghasilkan rata-rata 15 ton gula. Dengan luas areal tanaman tebu 190.000 ha (hanya di jawa) dapat dihasilkan 2,85 juta ton gula setiap tahunnya. Berdasarkan data World Sugar Production, Supply, and Distributor, disebutkan bahwa saat ini indonesia menjadi Importir gula terbesar nomor 3 setelah China dan Uni Eropa.

JABATAN BERBAHASA BELANDA YANG MASIH DIGUNAKAN DI PABRIK GULA


ADMINISTRATUR
Berasal dari bahasa Belanda Administrature, yaitu istilah untuk pengelola perkebunan

HTO
Adalah singkatan dari Hoofd Tuin Opziener (bahasa Belanda) yaitu sebutan untuk kepala pengawas tanaman perkebunan

CA
Adalah singkatan dari Chef Aanplant (bahasa Belanda), yaitu sebutan untuk kepala Tanaman pada pabrik Gula

FC
Adalah singkatan dari bahasa Belanda Fabricage Chef (bahasa Belanda), yaitu sebutan untuk kepala Pengolahan di Pabrik Gula

MASINIS
Berasal dari bahas Belanda Machinist, yaitu sebutan untuk kepala Teknik

CHEMIKER
Berasal dari bahasa Belanda, yaitu sebutan untuk komandan giling di dalam Pabrik Gula

SINDER
Berasal dari bahasa Belanda Opziener (Opzichter), yaitu sebutan untuk pengawas pekerja di Perkebunan

MANDOR
Berasal dari bahasa Inggris Commander, yaitu sebutan untuk orang yang mengepalai beberapa orang atau kelompok dan bertugas mengawasi pekerjaan mereka

WAKER
Berasal dari bahasa Belanda Wachter, yaitu sebutan untuk pengawas kebun tebu



Minggu, 24 Juli 2016

BERTAHAN SECARA KREATIF DAN INOVATIF



Pasar Bebas memang telah dimulai, terutama pasar bebas ASEAN atau AFTA (ASEAN Free Trade Area)  dengan terbukanya pasar bebas ASEAN, maka aliran perdagangan barang dan jasa, investasi, dan perpindahan tenaga kerja antar negara ASEAN tak ada lagi hambatannya. Hal ini tentunya akan banyak menghadirkan tantangan maupun peluang tersendiri bagi industri pergulaan di Indonesia. Lanjut bagaimana nasib industri gula di Indonesia??? Siap tidak siap, mau tidak mau industri pergulaan Indonesia harus  menghadapi persaingan ini.  Strategi yang harus di lakukan oleh industri gula di Indonesia yakni melihat tebu bukan hanya sebagai penghasil gula semata, melainkan melihat seluruh potensi/nilai guna yang dikandung oleh tebu (diversifikasi). Melakukan  upaya penciptaan nilai guna mendukung kelangsungan hidup perusahaan melalui optimalisasi potensi sumber daya untuk menghasilkan sumber pendapatan jangka pendek dan jangka panjang bagi perusahaan sangat diharuskan untuk menjawab tantangan tersebut.

Tebu merupakan tanaman yang memiliki keunggulan baik dalam arti ekonomi maupun lingkungan. Salah satu karakteristik keunggulan tebu dibandingkan tanaman lainnya adalah kapasitas pertumbuhan yang luar biasa. Varietas tebu yang tiap tahunnya dikembangkan, tidaklah jarang produksi tebu 100 ton/hektar dapat dicapai. Tebu tidak memerlukan banyak pestisida sehingga selain ramah lingkungan, kesempatan untuk menggunakan sisa-sisa tanaman tebu untuk bahan bakar, pakan ternak atau bahan baku lainnya seperti bagas atau ampas bisa di manfaatkan.

Produk utama yang saat ini masih menjadi andalan di pabrik gula yakni  gula. Padahal proses pengolahan tebu menjadi gula selain menghasilkan gula, juga dihasilkan limbah padat yang berasal dari ampas tebu dalam jumlah yang tidak sedikit. Struktur batang tebu sebagian besar terdiri dari air yaitu sekitar 70% dan sisanya sebesar 30% berupa bahan kering yang terdiri dari bagas atau ampas tebu, sukrosa, kadar abu, dan silika. Bagas atau ampas tebu adalah serat-serat sisa dari batang tebu setelah sari gula di ekstrasi. Bagas atau ampas pada umumnya diperoleh sebagai limbah di pabrik gula. Adapun limbah yang dihasilkan seperti bagas atau ampas, jarang dimanfaatkan menjadi produk/olahan yang memiliki nilai jual oleh pabrik gula. Tidak dapat dipungkiri bahwa bagas atau ampas tebu masih digunakan sebagai power utama/bahan bakar di sebagian besar pabrik gula di Indonesia.

Kreatif dan Inovatif. Kertas tissue kini menjadi suatu kebutuhan keseharian, yang dapat digunakan untuk membersihkan kotoran pada tangan maupun wajah. Menurut data produksi, untuk menghasilkan 20 lembar tissue atau satu bungkus kertas tissue memerlukan satu pohon. Jika rata-rata manusia menggunakan satu bungkus kertas tissue perhari, sepuluh orang telah menghancurkan sepuluh pohon. Jika hal tersebut tetap dibiarkan maka global warming akan mengancam keberadaan manusia di muka bumi. Hasil business study dan analisis kelayakan sosial ekonomi tentang potensi pemanfaatan bagas sebagai bahan baku untuk tissue sudah pernah dilaksanakan oleh sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta di tahun 2014. Mereka menamakan tisu “Upik Abu” yang merupakan singkatan dari “Untuk Penyelamat Bumi Kita Terbuat dari Ampas Tebu”. Proses pengolahan bagas/ampas tebu cukup sederhana, tahap pertama ampas tebu dibersihkan dengan cara merendam air panas, kemudian diaduk sampai bersih dan direndam kembali. Setelah selesai baru dikeringkan. Tahap pembuatan tissue dimulai dengan cara menumbuk ampas tebu sampai tinggal seratnya. Kemudian tumbukan ampas tebu tersebut dimasak menggunakan asam asetat dan air. Setelah proses pemasakan selesai, lalu dicuci menggunakan air bersih agar kandungan asam asetat dalam ampas tebu tersebut habis. Tahap selanjutnya memisahkan serat mandiri ampas tebu menjadi serat-serat halus yang dilakukan dengan cara disintegrasi, lalu serat halus ampas tebu disaring dan dikeringkan. Dari sini kemudian serat halus ampas tebu dibuat lembaran kertas tissue dengan memperhatikan ketebalannya. Langkah terakhir ditambahkan parfum sebagai aromaterapi. Hasil produk ini memiliki nilai jual yang cukup menjanjikan, tissue wajah ukuran besar dijual dengan harga Rp. 7.000, tissue wajah Rp. 4.000, tissue gulung dijual dengan harga Rp. 3.500, dan tissue makan dijual dengan harga Rp. 3.000. Keunggulan tissue dengan bahan baku ampas tebu ini adalah serat-serat non kayu (ampas) sebagai bahan baku pembuatan tissue lebih enviromentally friendly dibandingkan dengan bahan baku kayu. (sumber :vivanews.com, 2014). 

Apabila bagas atau ampas tebu tersebut nantinya akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan tissue atau bahkan produk lainnya, maka harus ada perubahan kebijakan dari pabrik gula secara keseluruhan untuk menggunakan bahan bakar lain. Program PMN (Penyertaan Modal Negara) dari APBN-P tahun 2015 sebesar 5,3 triliyun, diharapkan dapat menjadi peluang emas industri pergulaan untuk mengembangkan program hilir. Krisis energi di pabrik gula dapat teratasi, surplus ampas dapat tercapai, inovasi anak bangsa ini dapat diujicoba sebagai peluang bisnis di pabrik gula.

Dunia pergulaan terus berkembang, terus berubah dengan perubahan yang akan makin cepat intensitasnya. Hanya satu jawaban untuk bisa mengatasi perubahan itu, yaitu inovasi yang tak pernah berhenti (9).

MENJAMIN MASA DEPAN SWASEMBADA PANGAN DAN ENERGI MELALUI REVITALISASI INDUSTRI GULA


Nurcahyo Bayu Aji

Open Ono Aku...Naliko Ora Biso Nyugihi Nanging Biso Nguripi itulah falsafah jawa yang mungkin tidak asing lagi di telinga industri pergulaan khususnya di pabrik gula yang bermakna Peliharalah aku..., jika aku tidak bisa memberikan kekayaan namun aku masih bisa menghidupi. Pada jaman penjajahan belanda banyak pabrik gula di dirikan dan pada era itu pula komoditas gula sangat berjaya. Petani berlomba-lomba menanam tebu, karena hasil dari tanaman tersebut sangat menjanjikan. Di tahun 1930-an, komoditas gula asal indonesia pun dapat menguasai pangsa pasar dunia. Bahkan Indonesia menjadi eksportir gula terbesar nomor 2 di dunia setelah Kuba.

Seiring berjalannya waktu, komoditas gula di Indonesia mengalami kemunduran. Hal tersebut terlihat pada rendahnya produktivitas tanaman tebu dan terus terkikisnya luas areal tanaman tebu. Jika melihat tetangga negara terdekat kita yakni Thailand,  pabrik gula di Indonesia sudah cukup tua. Sekitar 64% pabrik gula di Indonesia umurnya sudah lebih dari 100 tahun, pabrik gula umur 100-184 tahun mencapai 40 unit. Sementara itu, pabrik gula yang berumur diatas 50 tahun – 99 tahun sebanyak 3 unit, yang berusia 25 – 49 tahun sebanyak 14 unit, dan dibawah 25 tahun sebanyak 5 unit. Dalam 1 tahun, hanya beroperasi rata-rata 150 hari sehingga dirasa kurang efisien dengan mutu gula yang rendah.

Penyertaan Modal Negara (PMN) yang di implementasikan oleh pemerintah di tahun 2016 menjadi angin segar bagi industri pergulaan Indonesia. Dengan dana 5,3 triliun yang dialokasikan dari APBN-P 2015 untuk PTPN III dapat dioptimal untuk memperbaiki (merevitalisasi) 50 PG BUMN. Revitalisasi yang dimaksud adalah untuk  meningkatkan rendemen dan proses pengolahan sehingga menghasilkan gula yang lebih baik serta peningkatan bibit tebu agar produksi gula nasional meningkat.
Hulu ke hilir. Swasembada gula yang sudah direncanakan pemerintah di tahun 2010 dengan target produksi gula sebesar 5,7 juta ton bisa dicapai, jika dari sekarang terjadi sinergi antara masyarakat pergulaan Indonesia dan didukung oleh regulasi pemerintah. Melalui  Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai tangan panjang dari pemerintah maka perlu melakukan Revitalisasi Di Seluruh Sektor Industri Gula Baik Dari Aspek On Farm (Tanaman) Dan Off Farm (Pabrik).

Dari Aspek On Farm (Tanaman), Areal Yang Semakin Sempit Menjadi Salah Satu Tantangan Yang Dihadapi Industri Pergulaan Indonesia. Sistem Kerjasama Kemitraan Dengan Petani Merupakan Salah Satu Solusi Untuk Mengatasi Permasalahan Tersebut Diatas. Pabrik Gula Harus Bisa Memberi Kepercayaan Kepada Petani Agar Lahannya Mau Dikelola Oleh Pabrik Gula Dengan Perhitungan Bagi Hasil Yang Menguntungkan. Adapun Dengan Petani Yang Lahannya Masih Ditanami Tebu, Jaminan Rendemen Menjadi Salah Satu Faktor Untuk Memenuhi Kekurangan Supply Bahan Baku Tebu Di Pabrik Gula. Dari Sisi Pabrik Gula, Penggunaan Varietas Unggul, Penataan Varietas, Dan Manajemen Tebang Angkut Merupakan Hal Terpenting Untuk Meningkatkan Rendemen. Penggunaan Varietas Unggul Dengan Akselerasi Bongkar Ratoon Harus Disiplin Dilaksanakan Dan Terjadwal. Penataan Varietengan komposisi masak awal 25%, masak tengah 45%, masak akhir 30% harus menjadi acuan dalam mengelola On Farm. Manajemen tebang dan angkut dengan menyediakan tebu layak tebang mulai dari klethek (klaras max 5%), dan pasok tebu sesuai kapasitas giling serta sosialisasi Manis Bersih Segar (MBS) menjadi target di bagian ini.  Berbicara mengenai produktivitas tebu per hektar 80 ton gula/hektar dengan rendemen 10 atau 100 ton gula/hektar dengan rendemen 8 bukan menjadi hal yang tidak mungkin tercapai jika pola back to basic ini bisa dilaksanakan. Pada prinsipnya “Pabrik gula sebenarnya itu berada pada On Farm (tanaman), bukan pada Off Farm (pabrik)”.

Dari aspek Off Farm (Pabrik), berbicara mengenai Off Farm (pabrik), berbicara mengenai bagaimana menyelamatkan potensi rendemen di dalam tanaman tebu saat proses produksi dilaksanakan. Peningkatan kapasitas terpasang dan penggantian   mesin –mesin yang kuno diharapkan dapat meningkatkan hasil produksi gula. Dari 62 pabrik gula di Indonesia, kementrian BUMN perlu segera melakukan pemetaan dan pengkajian secara cermat terkait pabrik gula mana-mana saja yang potensial dengan mengacu pada performance giling tahun-tahun yang lalu. Sehingga program Penyertaan Modal Negara (PMN) yang dicanangkan oleh pemerintah di tahun 2016 saat ini dapat tepat sasaran dalam pelaksanaan program revitalisasi. Pabrik gula yang mendapatkan alokasi dana PMN pun juga harus melaksanakan pendataan secara detail mesin-mesin mana yang dianggap kurang efisien.  Penggantian mesin-mesin baru disini akan sangat membuat efisien suatu pabrik gula, rendemen akan meningkat karena gula yang hilang diakibatkan oleh proses di dalam pabrik dapat ditekan seminimal mungkin.Teknis sistem pengilingan tebu secara FIFO (First In First Out), serta pengawasan yang intensif dalam operasional giling bisa menjadi target di bagian Off Farm (pabrik).

Dari Aspek Regulasi Pemerintah,  aspek terpenting selanjutnya untuk mensukseskan swasembada pangan dan energi. Kebijakan tata niaga gula, membanjirnya gula import rafinasi dengan harga murah dipasaran seolah-olah tidak adanya filter dari pemerintah yang berdampak pada harga jual GKP (Gula Kristal Putih) di pasaran. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pelaku bisnis pergulaan di Indonesia bisa memperoleh profit jika harga pokok produksi GKP > harga jual??? banyak petani tebu gulung tikar. Regulasi Pemerintah dalam komoditi gula sebenarnya sudah diatur dalam SK Mendagri No. 643/MPP/Kep/9/2002 (Tata Niaga Impor Gula), SK PresidenNo.57/2004 (Menetapkan Gula sebagai Barang yang Diawasi Pemerintah) maupun SK Menperindag No. 57/MPP/Kep/2004 (Ketentuan Import Gula, Pembatasan Import Gula dan Ketentuan Jenis Gula). Namun regulasi tersebut dirasa masih jauh dari harapan. Justru, “Hukum pasar yang cenderung neoliberal mengakibatkan semua regulasi tersebut tidak berdampak banyak secara positif terhadap kesejahteraaan petani tebu”.

Membenahi persoalan gula di Indonesia memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun jika revitalisasi dapat fokus pada semua aspek baik On Farm, Off Farm dan didukung oleh regulasi pemerintah benar-benar terwujud maka Indonesia diharapkan bukan swasembada lagi tetapi termasuk negara eksportir gula terbesar di dunia. Tidak ada kata yang sulit dan tidak mungkin jika kita semua bekerja dengan ikhlas, tulus dan jujur. Insya Allah.(9)